Sabtu, 29 Oktober 2011

Kartu Tarot, Sejarah dan Misterinya

kartu tarot

Hal yang pertama melintas di pikiran kita saat mendengar tentang Kartu Tarot adalah hal-hal yang bersifat klenik tentang ramalan; sesuatu yang menakutkan, kengerian, atau bahkan kematian. Anehnya, semua itu tak pernah terbantahkan. Orang-orang yang bergelut di dunia Tarot pun diam-diam seakan mengamini anggapan negatif tersebut tanpa pernah bermaksud mengoreksinya. Sebagai salah satu “praktisi” dalam dunia Tarot, saya merasa sudah saatnya mengungkap kontroversi tentang kartu ramalan tersebut; tentang apa sebenarnya Kartu Tarot, dari mana asal muasal Kartu Tarot dan kenapa dunia ramal meramal dengan medium Kartu Tarot dapat berkembang menjadi sesuatu yang menakutkan, bahkan dibenci oleh sebagian orang.

Permainan Tarot yang paling populer saat ini adalah Tarot versi Rider-Waite-Smith. Kartu Tarot sendiri terdiri dari 78 kartu yang terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu Major Arcana (kata Arcana adalah bentuk jamak dari arkanum, yang artinya “penuh rahasia”. Bagi para ahli kitab di abad pertengahan, arkanum berarti rahasia alam) dan Minor Arcana. Ada 22 buah kartu dari keseluruhan 78 Kartu Tarot yang tergolong dalam Arkana Mayor, dan disebut sebagai kartu trump, yang berarti ke-22 kartu tersebut memiliki keunggulan dibandingkan dengan kartu-kartu yang masuk dalam kategori Arkana Minor. Dari 56 kartu Arkana Minor sendiri, kita masih bisa kelompokkan lagi menjadi empat jenis kartu sebagaimana layaknya permainan kartu remi.

Tarot Kartu Remi Elemen
Wands, Staves, Rods, Batons atau Tongkat Clubs atau Keriting, Cengkir Api
Pentacles, Coins atau Koin Diamonds atau Tahu, Wajik Tanah atau Bumi
Cups, Chalices atau Cawan, Gelas Hearts atau Hati, Cinta Air
Swords atau Pedang Spades atau Sekop Angin atau udara

Keempat kelompok kartu Arkana Minor tersebut terdiri dari kartu As 2-10, dan kartu-kartu Kerajaan; dengan perbedaan Joker (disebut juga Page atau Knave) masuk menjadi bagiannya. Jack (Knight/Kesatria), Queen dan King. Jumlah kartu dalam tiap kelompok adalah 14. Kartu Tarot sendiri berasal dari Italia dan awalnya permainan dengan medium Kartu Tarot ini disebut Carde da Trionfi, atau Kartu Kejayaan. Bukti sejarah berupa dokumen yang disalin pada Abad 1442-1463 menyebutkan bahwa jenis permainan dengan medium Kartu Tarot ini bernama Trionfi. Barulah setelah mendapat pengaruh dari Prancis, nama Trionfi berubah menjadi Tarrochi.

Popularitas Kartu Tarot diperkirakan bermula sejak Antoine Court de Gebelin menerbitkan sebuah buku pada tahun 1781, yang mengungkapkan bahwa pendeta-pendeta Mesir Kuno telah melukis Kartu Tarot berdasarkan Buku Thoth. Mereka kemudian membawa gambar-gambar tersebut ke Roma untuk dipersembahkan kepada Paus, yang selanjutnya memperkenalkan Tarot hingga ke Avignon, Prancis, pada abad ke-14. Namun, penjelasan Court de Gebelin ini dianggap tidak akurat karena tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah dan ditulis sebelum Champollion berhasil menerjemahkan bahasa Mesir Kuno, Hieroglif (Hieroglyph).

Gereja Katolik dan pemerintahan daerah di Eropa tidaklah selalu melarang permainan Tarot. Di beberapa daerah bahkan warganya diperbolehkan memainkan Tarot, sekalipun permainan kartu sejenis lainnya jelas-jelas dilarang. Namun, “hak eksklusif” dari Kartu Tarot tersebut tidak berlangsung lama. Pada akhir abad ke-14, seorang penceramah dari Swiss, Johannes von Rheinfelden, secara tiba-tiba menyerang perjudian dan aneka permainan kartu, termasuk Kartu Tarot. Pelarangan ini kemudian dituangkan dalam Tractus de moribus et disciplina humanae conversationis, yang diterbitkan pada tahun 1370 (beberapa ahli menyatakan tahun 1377).

Sebagai akibat dari pernyataan ini, John I dari Castile, serta pemerintahan Firenze dan Bazel secara bersamaan mengeluarkan larangan bermain kartu. Beberapa tempat seperti Regensburg dan Duchy of Brabant pun menerbitkan larangan serupa pada tahun 1379. Penceramah Bernard Siena bahkan mengatakan bahwa permainan kartu adalah hasil ciptaan setan.

Tarot-tarot tertua saat ini dibuat pada awal hingga pertengahan abad ke-15. Ada tiga set Kartu Tarot yang kesemuanya adalah milik keluarga Visconti – keluarga yang paling berkuasa di Milan pada saat itu. Kartu-kartu tersebut kemungkinan besar merupakan buah karya lukis dari seniman bernama Bonifacio Bembo dan pelukis-pelukis miniatur dari Ferrara. Tujuan diciptakannya kartu-kartu itu adalah untuk merayakan perkawinan antara keluarga Visconti dengan Sforza. Hingga kini, terdapat 35 kartu yang tersimpan di Perpustakaan Pierpont Morgan; 26 kartu lainnya di Accademia Carrara; 13 kartu di Casa Calleoni; sedangkan empat kartu lainnya (Devil, Tower, Three Swords, dan Knight of Coins) tidak dapat ditemukan atau bahkan mungkin tidak pernah dibuat. Set kartu “Visconti-Sforza” ini telah direproduksi secara meluas. Dalam set kartu tersebut, Minor Arcana (kartu-kartu Pedang, Tongkat, Koin, dan Cawan) dan Major Arcana digabungkan untuk merefleksikan ikonografi konvensional pada saat itu.
Ilustrasi dan interprestasi Tarot berkembang sejalan dengan masa.

Seringkali ilustrasi Tarot dibentuk untuk melayani pandangan mistis dan kebutuhan penggunanya. Sebagai contoh, seorang seniman bernama Pamela Colman Smith melukis satu set lukisan Major Arcana, yang didasarkan pada interpretasi Arthur Edward Waite. Hasil karya mereka kemudian diterbitkan oleh perusahaan percetakan, Rider Company, dan telah menjadi set Kartu Tarot yang paling populer di peradaban modern. Set kartu ini dikenal juga dengan sebutan Tarot Rider-Waite-Smith; dan untuk memudahkan pemahaman terhadap set kartu ini, Waite menerbitkan buku petunjuk interpretasi Tarotnya, The Pictorial Key to the Tarot (1910).

Dari uraian singkat di atas, sedikit terungkap kenapa Tarot dapat dengan mudah terkondisikan menjadi sebuah kontroversi; selain karena keberadaannya yang sangat dipengaruhi oleh kuasa kerajaan, permainan Kartu Tarot juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh keyakinan keimanan umat manusia, kemisteriusan akan sejarah asal muasal permainan kartu tersebut, serta berbagai ilmu gaib dan mistis yang melekat terhadapnya.

Pandangan yang cukup revolusioner terhadap permainan Kartu Tarot diungkap oleh Joan Bunning dalam situsnya Belajar Tarot Gratis. Menurutnya, Tarot sebenarnya adalah simbol sentuhan alam bawah sadar manusia, yang dalam teori psikologi dapat dipersamakan atau hampir serupa dengan bentuk tes Rorschach inkblot.

Psikolog ternama Sigmun Freud bahkan pernah juga membahas dalam teori alam bawah sadar-nya bahwa simbol-simbol dalam Kartu Tarot itulah yang kemudian memberikan sugesti kepada manusia (baca : praktisi tarot.red) untuk menjawab pertanyaan atau memberikan saran dalam menyelesaikan masalah kepada pihak kedua yang datang “berkonsultasi”; hingga tak heran jika kesan yang sampai pada kita mengenai Kartu Tarot adalah permainan ramal meramal, dimana seakan-akan sang praktisi Kartu Tarot telah mengetahui jawabannya terlebih dahulu bahkan sebelum lahirnya suatu kejadian/peristiwa.

Secara ilmiah, tentu saja hal ini sangat sulit diterima oleh beberapa pihak. Teori mengenai “alam bawah sadar” ala Kartu Tarot ini bahkan dianggap sangat bertentangan dengan dunia Barat — yang lebih mengedepankan logika/pemikiran-pemikiran logis, ilmu pasti, dan teknologi dunia modern, atau pun dunia Timur — yang sedikit banyak masih mempercayai adanya kekuatan gaib, klenik, mistis, eksklusifisme dan cenderung lebih agamis. Kontroversi mengenai “teori alam bawah sadar” ini semata-mata karena hal tersebut sangat sulit dan sangat samar untuk diuraikan secara logika.

kartu tarot

Namun, penulis Ramalan, Antara Perspektif Ilmiah dan Religius, A. Luluk Widyawan, Pr menjelaskan bahwa pelajaran berharga yang dihasilkan dari perjumpaan antara dunia ramal meramal, astrologi, horoskop, dan keimanan manusia dimasa lalu merupakan sesuatu yang tidak perlu dipertentangan. Dengan kata lain, perbedaan yang terdapat dalam perspektif ilmiah dan perspektif religius bukanlah sesuatu yang perlu dipertentangkan. Hal serupa terlihat pula pada kasus-kasus dimana agama dan ilmu pengetahuan bertemu pada satu titik persimpangan saat mengemukanya teori-teori baru, seperti Teori Evolusi, Realitas Kuantum, atau pun Teori Genom. Karena pada dasarnya, ilmu pengetahuan dan agama merupakan dua perspektif yang berbeda dalam menjelaskan rahasia alam, termasuk dunia dan kehidupan.

Budi Hardiman dalam sebuah seminar, The Future of Religion-Science Dialogue, di Universitas Paramadina, Jakarta, medio Desember tahun lalu, mengatakan bahwa dalam perspektif ilmiah, alam dipandang sebagai sebuah dunia yang obyektif. Semua fakta tunduk kepada “hukum alam”. Berdasar pada perspektif tersebut, manusia membuat ramalan tentang peristiwa alam dan manipulasi teknis atas alam. Akan tetapi, manusia tidak melulu melihat alam hanya sebagai kumpulan fakta-fakta, melainkan juga sebagai dunia yang dihayati.

Adapun perspektif religius, menurut Budi, melihat alam dalam kaitannya dengan kenyataan dan penghayatan eksistensial. Bukan sekedar sebagai kebenaran faktual, tetapi lebih sebagai kebenaran transendental. Tentu saja tiap-tiap perspektif ini mempunyai kebenarannya sendiri, tetapi pada tahap tertentu, kedua perspektif ini saling berhubungan, sama penting, dan bermakna.

Selanjutnya Budi mengambil contoh tentang bencana tsunami. Dari perspektif ilmiah, bencana ini merupakan peristiwa dalam dunia obyektif yang dapat dikalkulasi secara geologis. Di sisi lain, perspektif religius memaknai bencana tsunami secara eksistensial dan transendental sebagai perjumpaan dari hal-hal yang melampaui rasionalitas umat manusia. Perbedaan antara dua perspektif tersebut memperlihatkan bahwa ilmu pengetahuan tidak mempersoalkan kebenaran eksistensial dan transendental; sebagaimana juga agama tidak berpretensi untuk menjadi ilmu pengetahuan yang bertugas memberikan penjelasan tentang suatu kebenaran yang faktual.

Adapula pendapat lain, diungkapkan oleh Hamid Parsania, Rektor Baghir Al-Ulum University, Teheran. Ia mengatakan bahwa dalam perkembangannya, ilmu pengetahuan – terutama pada abad ke-19 – dimaknai sebagai pengetahuan yang tangible (indrawi) dan faktual (dapat dibuktikan).

Ilmu pengetahuan dapat dimaknai sebagai sesuatu yang berusaha menjelaskan alam semesta dan dalam perkembangannya dituntut pula mengajarkan nilai-nilai kepada masyarakat. Perkembangan teori-teori dalam ilmu pengetahuan telah pula memunculkan para ahli yang berpendapat bahwa ilmu pengetahuan tidaklah terlepas dari sumber-sumber lain.

Satu hal yang patut diyakini adalah bahwa ilmu itu juga bagaikan sebuah pisau, tinggal tergantung dari sudut mana kita bisa meyakininya sebagai sesuatu yang berguna atau tidak. Kita tentu membutuhkan pisau untuk memudahkan pekerjaan kita mengupas bawang, mengiris roti, atau sekedar meraut pinsil; namun kita pun akan menjauhkan pisau tersebut dari jangkauan anak-anak karena bisa membuatnya terluka. Dengan segala kontroversinya, permainan dengan medium Kartu Tarot pun merupakan bagian dari sebuah ilmu pengetahuan yang terus berkembang sejalan dengan zaman.

Sejarah Panjang Kota Malang Sejak Zaman Prasejarah sampai Modern


Daerah Malang merupakan peradaban tua yang tergolong pertama kali muncul dalam sejarah Indonesia yaitu sejak abad ke 7 Masehi. Peninggalan yang lebih tua seperti di Trinil (Homo Soloensis) dan Wajak - Mojokerto (Homo Wajakensis) adalah bukti arkeologi fisik (fosil) yang tidak menunjukkan adanya suatu peradaban.
Peninggalan purbakala disekitar wilayah Kota Malang seperti Prasasti Dinoyo (760 Masehi), Candi Badut, Besuki, Singosari, Jago, Kidal dan benda keagamaan berasal dari tahun 1414 di Desa Selabraja menunjukkan Malang merupakan pusat peradaban selama 7 abad secara kontinyu.
CANDI BADUT

Malang merupakan wilayah kekuasaan 5 dinasti yaitu Dewasimha / Gajayana (Kerajaan Kanjuruhan), Balitung / Daksa / Tulodong Wawa (Kerajaan Mataram Hindu), Sindok / Dharmawangsa / Airlangga / Kertajaya (Kerajaan Kediri), Ken Arok hingga Kertanegara (Kerajaan Singosari), Raden Wijaya hingga Bhre Tumapel 1447 - 1451 (Kerajaan Majapahit).

MASA KERAJAAN KANJURUHAN
Kerajaan Kanjuruhan menurut para ahli purbakala berpusat dikawasan Dinoyo Kota Malang sekarang. Salah satu bukti keberadaan Kerajaan Kanjuruhan ini adalah Prasasti Dinoyo yang saat ini berada di Museum Jakarta. Prasasti Dinoyo ditemukan di Desa Merjosari (5 Km. sebelah Barat Kota Malang), di kawasan Kampus III Universitas Muhammadiyah saat ini. Prasasti Dinoyo merupakan peninggalan yang unik karena ditulis dalam huruf Jawa Kuno dan bukan huruf Pallawa sebagaimana prasasti sebelumnya. Keistimewaan lain adalah cara penulisan tahun berbentuk Condro Sangkala berbunyi Nayana Vasurasa (tahun 682 Saka) atau tahun 760 Masehi. Dalam Prasasti Dinoyo diceritakan masa keemasan Kerajaan Kanjuruhan sebagaimana berikut :
  • Ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Raja yang sakti dan bijaksana dengan nama Dewasimha
  • Setelah Raja meninggal digantikan oleh puteranya yang bernama Sang Liswa
  • Sang Liswa terkenal dengan gelar Gajayana dan menjaga Istana besar bernama Kanjuruhan
  • Sang Liswa memiliki puteri yang disebut sebagai Sang Uttiyana
  • Raja Gajayana dicintai para brahmana dan rakyatnya karena membawa ketentraman diseluruh negeri
  • Raja dan rakyatnya menyembah kepada yang mulia Sang Agastya
  • Bersama Raja dan para pembesar negeri Sang Agastya (disebut Maharesi) menghilangkan penyakit
  • Raja melihat Arca Agastya dari kayu Cendana milik nenek moyangnya
  • Maka raja memerintahkan membuat Arca Agastya dari batu hitam yang elok
Salah satu Arca Agastya ada di dalam kawasan Candi Besuki yang saat ini tinggal pondasinya saja. Bukti lain keberadaan Kerajaan Kanjuruhan adalah Candi Badut yang hingga kini masih cukup baik keadaannya serta telah mengalama renovasi dari Dinas Purbakala. Peninggalan lain adalah Patung Dewasimha yang berada di tengah Pasar Dinoyo saat ini.

MASA KERAJAAN MATARAM HINDU
Keturunan Dewasimha dan Gajayana mundur sejalan dengan munculnya dinasti baru di daerah Kediri yaitu Balitung, Daksa, Tulodong dan Wawa yang merupakan keturunan Raja Mataram Hindu di Jawa Tengah. Balitung (898 - 910) adalah Raja Mataram pertama yang menguasai Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dinasti ini memusatkan kekuasaannya di daerah Kediri yang lebih dekat ke Jawa Tengah dibandingkan dengan bekas pusat kekuasaan Kerajaan Kanjuruhan di Malang. Pada masa ini Malang hanyalah sebuah wilayah yang tidak begitu penting kedudukannya.

MASA KERAJAAN KEDIRI, DAHA DAN JENGGALA
Dinasti berikutnya yang menguasai Kediri setelah kemunduran Mataram Hindu adalah keturunan Sindok, Dharmawangsa, Airlangga dan terakhir Kertajaya (1216 - 1222). Pada masa ini pusat kekuasaan beralih ke Daha / Jenggala sedangkan daerah Malang menjadi sebuah wilayah setingkat Kadipaten yang maju dan besar terutama sebagai dalam bidang keagamaan dan perdagangan, dipimpin oleh seorang Akuwu.

MASA KERAJAAN SINGOSARI

Singosari dikenal sebagai salah satu kerajaan terbesar di tanah Jawa yang disegani diseluruh Nusantara dan manca negara. Singosari semula adalah sebuah Kadipaten dibawah kekuasaan Raja Kediri yaitu Kertajaya. Kadipaten tersebut bernama Tumapel dipimpin oleh Akuwu Tunggul Ametung yang kemudian direbut kedudukannya oleh Ken Arok. Ken Arok kemudian mengembalikan pusat kekuasaan ke daerah Malang setelah Kediri ditaklukkan. Selama 7 generasi Kerajaan Singosari berkembang pesat hingga menguasai sebagian besar wilayah Nusantara. Bahkan Raja terakhir yaitu Kertanegara mempermalukan utusan Maharaja Tiongkok Kubhilai Khan yang meminta Singosari menyerahkan kekuasaannya.

Singosari jatuh ketangan Kediri ketika sebagian besar pasukan Kertanegara melakukan ekspedisi perang hingga ke Kerajaan Melayu dan Sriwijaya. Namun tidak lama kemudian pasukan Kediri berhasil dipukul mundur oleh keturunan Kertanegara yaitu Raden Wijaya yang kemudian dikenal sebagai pendiri Kerajaan Majapahit. Pada saat yang hampir bersamaan Raden Wijaya juga harus menghadapi serbuan dari armada Tiongkok yang menuntut balas atas perlakuan Raja Singosari sebelumnya (Kertanegara) terhadap utusannya. Armada Tiongkok inipun berhasil dikalahkan oleh Raden Wijaya berkat bantuan dari Penguasa Madura yaitu Arya Wiraraja.

MASA KERAJAAN MAJAPAHIT
Kerajaan Majapahit mencapai masa keemasan ketika dipimpin oleh Hayam Wuruk dengan patihnya Gajah Mada yang terkenal dengan Sumpah Palapa. Majapahit menaklukkan hampir seluruh Nusantara dan melebarkan sayapnya hingga ke seluruh Asia Tenggara. Pada masa ini daerah Malang tidak lagi menjadi pusat kekuasaan karena diduga telah pindah ke daerah Nganjuk. Menurut para ahli di Malang ditempatkan seorang penguasa yang disebut Raja pula.

Dalam Negara Kertagama dikisahkan Hayam Wuruk sebagai Raja Majapahit melakukan ziarah ke makam leluhurnya (yang berada disekitar daerah Malang), salah satunya di dekat makam Ken Arok. Ini menunjukkan bahwa walaupun bukan pusat pemerintahan namun Malang adalah kawasan yang disucikan karena merupakan tanah makam para leluhur yang dipuja sebagai Dewa. Beberapa prasasti dan arca peninggalan Majapahit dikawasan puncak Gunung Semeru (Telaga Ranu Gumbolo) dan juga di Gunung Arjuna menunjukkan bahwa kawasan Gunung Bromo - Tengger - Semeru serta Gunung Arjuna adalah tempat bersemayam para Dewa dan hanya keturunan Raja yang boleh menginjakkan kaki di wilayah tersebut. Bisa disimpulkan bahwa berbagai peninggalan tersebut merupakan rangkaian yang saling berhubungan walaupun terpisah oleh masa yang berbeda sepanjang 7 abad.

ASAL USUL NAMA KOTA MALANG
Nama Batara Malangkucecwara disebutkan dalam Piagam Kedu (tahun 907) dan Piagam Singhasari (tahun 908). Diceritakan bahwa para pemegang piagam adalah pemuja Batara (Dewa) Malangkucecwara, Puteswara (Putikecwara menurut Piagam Dinoyo), Kutusan, Cilahedecwara dan Tulecwara. Menurut para ahli diantaranya Bosch, Krom dan Stein Calleneis, nama Batara tersebut sesungguhnya adalah nama Raja setempat yang telah wafat, dimakamkan dalam Candi Malangkucecwara yang kemudian dipuja oleh pengikutnya, hal ini sesuai dengan kultus Dewa - Raja dalam agama Ciwa.

Nama para Batara tersebut sangat dekat dengan nama Kota Malang saat ini, mengingat nama daerah lain juga berkaitan dengan peninggalan di daerah tersebut misalnya Desa Badut (Candi Badut), Singosari (Candi Singosari). Dalam Kitab Pararaton juga diceritakan keeratan hubungan antara nama tempat saat ini dengan nama tempat di masa lalu misalnya Palandit (kini Wendit) yang merupakan pusat mandala atau perguruan agama. Kegiatan agama di Wendit adalah salah satu dari segitiga pusat kegiatan Kutaraja pada masa Ken Arok (Singosari - Kegenengan - Kidal - Jago : semuanya berupa candi).

Pusat mandala disebut sebagai panepen (tempat menyepi) salah satunya disebut Kabalon (Kebalen di masa kini). Letak Kebalen kini yang berada di tepi sungai Brantas sesuai dengan kisah dalam Pararaton yang menyebut mandala Kabalon dekat dengan sungai. Disekitar daerah Kebalen - Kuto Bedah - DAS Brantas banyak dijumpai gua buatan manusia yang hingga kini masih dipakai sebagai tempat menyepi oleh pengikut mistik dan kepercayaan. Bukti lain kedekatan nama tempat ini adalah nama daerah Turyanpada kini Turen, Lulumbang kini Lumbangsari, Warigadya kini Wagir, Karuman kini Kauman.

Pararaton ditulis pada tahun 1481 atau 250 tahun sesudah masa Kerajaan Singosari menggunakan bahasa Jawa Pertengahan dan bukan lagi bahasa Jawa Kuno sehingga diragukan sebagai sumber sejarah yang menyangkut pemerintahan dan politik. Penulisan Pararaton sudah .

Namun pendekatan yang dipakai para ahli dalam menyelidiki asal usul nama Kota Malang didasarkan pada asumsi bahwa nama tempat tidak akan jauh berubah dalam kurun waktu tersebut. Hal ini bisa dibuktikan antara lain dari nama Kabalon (tempat menyepi) ternyata juga disebutkan dalam Negara Kertagama. Dalam kitab tersebut dikisahkan bahwa puteri mahkota Hayam Wuruk yaitu Kusumawardhani (Bhre Lasem) sebelum menggantikan ayahnya terlebih dahulu menyepi di di Kabalon dekat makam leluhurnya yaitu Ken Arok atau Rangga Rajasa alias Cri Amurwabumi. Makam Ken Arok tersebut adalah Candi Kegenengan.

Namun istilah Kabalon hanya dikenal dikalangan bangsawan, hal inilah yang menyebabkan istilah Kabalon tidak berkembang. Rakyat pada masa itu tetap menyebut dan mengenal daerah petilasan Malangkucecwara dengan nama Malang hingga diwariskan pada masa sekarang.

MASA KOLONIAL
Setelah kemunduran Kerajaan Majapahit yang terdesak oleh Kerajaan Mataram Islam, daerah Malang semakin ditinggalkan bahkan dijauhi karena kultus Dewa - Raja dan agama Hindu bertentangan dengan ajaran Islam. Peninggalan peradaban Hindu - Ciwa tidak lagi diperhatikan karena sisa pengikut Kerajaan Majapahit yang memeluk agama Hindu Ciwa menyingkir ke daerah Tengger dan keturunannya dikenal sebagai masyarakat Tengger sekarang.

Kedatangan bangsa kulit putih antara lain Portugis, Belanda dan Inggris pada akhirnya mengakibatkan kemunduran Kerajaan mataram sehingga Nusantara jatuh kedalam masa penjajahan. Dalam masa pertengahan penjajahan menurut Buku History of Java karangan Gubernur Jenderal Raffles (1812), Malang merupakan daerah perkebunan dibawah Kabupaten Pasuruan. Malang berkembang pesat setelah ada jalur kereta api dan dibukanya berbagai perkebunan terutama tebu untuk industri gula. Sampai saat ini dua pabrik gula peninggalan kolonial masih beroperasi yaitu PG. Krebet Baru dan PG. Kebon Agung.

MASA KEMERDEKAAN

Pada masa sesudah Proklamasi Kemerdekaan di Malang didirikan Pemerintah Daerah Sementara dan pada masa Perang Kemerdekaan (Clash I 1947 dan Clash II 1949) daerah Malang menjadi basis perjuangan baik politis maupun gerilya.

Berbagai pasukan antara lain TGP dan pasukan Hamid Rusdi sangat terkenal dengan kegigihan dan keberaniannya. Salah satu pertempuran dahsyat dalam mempertahankan Kota Malang yang selalu dikenang adalah front Jalan Salak (kini Jalan Pahlawan Trip). Pada saat itu gugur 35 orang anggota Brigade 17 Detasemen I Trip Jawa Timur. Di bekas lokasi pertempuran tersebut kini didirikan Monumen dan Makam Pahlawan Trip. Makam Pahlawan yang lain terletak di Jalan Veteran tidak jauh dari Jalan Pahlawan Trip.

MASA ORDE LAMA

Pergolakan politis pada akhir masa Orde Lama juga terjadi di Malang karena aktifitas PKI / Komunis cukup banyak mempengaruhi masyarakat terutama golongan pemuda. Terjadi rapat2 umum, demonstrasi, kerusuhan dan bentrokan fisik antara pendukung Komunis dengan pendukung Pancasila, salah satunya yang terkenal adalah penyerbuan Gedung Sarinah sekarang. Akhirnya kelompok Komunis dapat dikalahkan dan melarikan diri ke daerah Blitar sehingga dilakukan operasi militer Sandhi Yudha yang mengakhiri petualangan Komunis di Indonesia.

MASA ORDE BARU
Kota Malang berkembang pesat pada masa Orde Baru berkat perkembangan perekonomian yang semakin baik dan semangat masyarakat yang kuat untuk meraih hari depan yang lebih baik. Berbagai kegiatan pembangunan di segala bidang terus dilakukan dan memberikan hasil yang memuaskan.

MASA REFORMASI
Malang sebagai Kota Pendidikan juga menjadi salah satu barometer aksi yang menggulirkan reformasi. Ribuan Pelajar dan Mahasiswa turun ke jalan untuk memperjuangkan hak rakyat dan prinsip demokrasi hingga berhasil. Dan perjuangan terus dilanjutkan di daerah antara lain dengan mengupayakan pemilihan Pimpinan Daerah (Walikota) yang demokratis.

Sabtu, 22 Oktober 2011

mitologi hindu

Mitologi Hindu adalah suatu istilah yang digunakan oleh para sarjana masa kini kepada kesusastraan Hindu yang luas, yang menjabarkan dan menceritakan tentang kehidupan tokoh-tokoh legendaris, Dewa-Dewi, makhluk supernatural, dan inkarnasi Tuhan yang dijelaskan dengan panjang lebar dalam aliran filsafat dan ilmu akhlak. Mitologi Hindu juga menjabarkan kisah-kisah kepahlawanan yang diklaim sebagai sejarah India masa lampau, seperti Ramayana dan Mahabharata.
Cerita-cerita dalam mitologi Hindu terjalin dalam empat jenjang zaman yang disebut Catur Yuga. Masing-masing Yuga memiliki karakter yang berbeda. Berbagai legenda, kisah tentang Dewa-Dewi dan awatara diyakini terjadi pada zaman yang berbeda-beda pula. Cerita itu dapak disimak dalam kesusastraan Hindu. Kesusastraan mitologi Hindu terjalin oleh etos agama Weda kuno dan kebudayaan Weda, dan cerita-cerita tersebut didasari oleh sistem filsafat Hindu.

Daftar isi

 [sembunyikan

[sunting] Sumber

Suatu ilustrasi dalam Bhagawatapurana, kitab yang memuat legenda dan mitologi agama Hindu.
Akar dari segala mitologi Hindu dan cerita-cerita keagamaannya berasal dari kebudayaan Weda, dan merupakan agama kuno yang berkembang pada saat Weda muncul. Weda berjumlah empat, yaitu: Rigweda, Samaweda, Yajurweda, dan Atharwaweda. Di samping itu, terdapat bagian-bagian dalam tubuh Weda yang luas, dan merupakan kitab-kitab tersendiri, seperti Jyotisha, Purana, Itihasa, Niti Sastra, Sulwa Sutra, Tantra, Darsana, dan lain-lain. Ajaran yang terkandung dalam bagian tubuh Weda tersebut adalah: filsafat, teologi, astronomi, ilmu tata negara, cerita keagamaan, dan biografi tokoh-tokoh masa lampau. Ajaran tersebut menjadi dasar kepercayaan dan peradaban agama Hindu dan memberikannya beragam mitologi.
Kitab yang memuat cerita keagamaan, seperti Purana dan Itihāsa, sangat terkenal sebagai sumber mitologi Hindu yang utama. Kitab Purana merupakan kitab yang memuat legenda Hindu dan kisah-kisah makhluk supernatural (Dewa, Asura, Detya, Raksasa, Yaksa, dan lain-lain) dalam kaitannya dengan kejadian di alam semesta. Kitab Purana banyak sekali jenisnya. Masing-masing kitab menceritakan tokoh-tokoh Hindu (Raja-Raja kuno, para resi), dewa-dewi, inkarnasi Tuhan (awatara), dan legenda.
Lukisan yang menggambarkan pertempuran di Kurukshetra, sebuah babak dalam kitab Mahabharata, salah satu Itihasa.
Selain Purana, ada kitab yang disebut Itihasa. Itihasa adalah kitab yang memuat tentang kisah kepahlawanan (epos atau wiracarita) dan diyakini memiliki hubungan dengan sejarah India. Kisah kepahlawanan tersebut adalah Ramayana dan Mahabharata. Kisah tersebut dihimpun oleh para Maharesi yang terkenal, yakni Resi Walmiki dan Resi Byasa. Berbagai sudut pandang muncul akan kebenaran kisah yang terjadi dalam Itihasa. Sebagian orang meyakini bahwa kisah dalam Itihāsa merupakan fakta sejarah, sementara yang lain menganggap bahwa cerita tersebut hanyalah karangan, atau suatu cerita kiasan, bahwa kejahatan selalu kalah oleh kebajikan.

[sunting] Kemunculan dan perkembangan

Mitologi Hindu umurnya ribuan tahun, setua umur agama Hindu. Tahun kemunculan mitologi ini tidak pasti dan sukar diperkirakan secara tepat. Mitologi ini diyakini muncul bersamaan ketika Weda mulai berkembang di anak benua India. Pada saat itu lagu-lagu pujian pada Rig Weda (Weda pertama) mulai dinyanyikan. Lagu tersebut memuji-muji alam dan unsur-unsurnya, seperti: udara, air, petir, matahari, api, dan sebagainya. Hal tersebut diwujudkan dalam bentuk Dewa-Dewa yang memiliki gelar masing-masing sesuai dengan unsur alam, seperti Bayu, Baruna, Indra, Surya, Agni, dan sebagainya. Dewa-Dewi inilah yang akan menjadi bagian dari mitologi Hindu.
Menurut para sarjana masa kini, pada zaman Weda, Dewa-Dewi dalam mitologi Hindu masih dikonsepkan. Pada zaman ini, pemujaan dan mitologi mengenai Dewa-Dewa merupakan pengetahuan akan ilmu ketuhanan. Setelah zaman Weda, disusul oleh kebudayaan zaman Brahmana. Pada zaman ini, ilmu Weda dikembangkan dengan pengetahuan akan upacara keagamaan. Zaman ini ditandai dengan cenderungnya pelaksanaan upacara daripada pengajaran filsafat. Pada zaman ini mulai disusun kitab-kitab yang menceritakan tentang mitologi, legenda, kosmologi, dan sebagainya. Pada zaman Weda umat Hindu memohon anugerah dari para Dewa, sedangkan pada zaman Brahmana para Dewa memiliki kedudukan yang penting terutama dalam sistem upacara.
Reruntuhan jembatan kuno antara India dan Sri Lanka, seperti terkisah dalam wiracarita Ramayana. Kini berada di dasar laut.
Zaman Purana merupakan perkembangan dari kebudayaan terdahulu. Zaman ini merupakan masa-masa ketika mitologi Hindu dihimpun. Pada zaman tersebut, Dewa-Dewi tersebut memiliki karakter khusus dan dilukiskan secara detail. Pada zaman ini pula, terjadi kisah epos Ramayana dan Mahabharata, yang dipercaya sebagai kejadian bersejarah. Pada epos Ramayana, dikisahkan bahwa Sri Rama dan bala tentaranya membangun sebuah jembatan dari India menuju Alengka (kini Sri Lanka). Reruntuhan jembatan kuno yang menghubungkan antara India dan Sri Lanka yang kini terpendam di dasar laut dianggap dan diyakini sebagai bukti sejarahnya. Bukti arkeologi sangat dibutuhkan untuk meyakinkan apakah cerita tersebut merupakan bagian dari sejarah atau mitologi belaka.
Pada zaman modern, selama agama Hindu masih memiliki penganut, mitologi Hindu masih eksis dan diceritakan, namun sebagian belum terkenal dan jarang diketahui. Mitologi Hindu mudah beradaptasi dengan budaya lokal tanpa melupakan format aslinya (Weda, Purana, Itihasa). Pada masa penyebaran agama Hindu ke wilayah Asia Tenggara, seperti: Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Nusantara (terutama Semenanjung Malaka, Sumatra, Kalimantan, Jawa, Bali dan lain-lain), beberapa bagian dari mitologi Hindu yang asli dari India telah bercampur dengan budaya lokal dan diadaptasi agar lebih mudah dicerna. Mitologi Hindu tersebut diadaptasikan sesuai dengan kepercayaan lokal (seperti Islam, Animisme dan Dinamisme), dengan menambahkan atau mengurangi format aslinya. Di Indonesia, pada beberapa bagian dari kesusastraan Hindu seperti Ramayana dan Mahabharata, adaptasi budaya dapat ditoleransi selama tidak mencemarkan atau melupakan versi aslinya. Sebagai catatan, sebagian dari mitologi Hindu yang datang ke Indonesia telah beradaptasi dengan budaya lokal.

[sunting] Kosmologi

Brahma, manifestasi Brahman sebagai dewa pencipta dalam agama Hindu.
Dalam ajaran Hindu, gambaran mengenai keadaan awal dari alam semesta dituliskan dalam suatu lagu dalam kitab Rigweda. Di sana dikisahkan, pada mulanya, alam semesta adalah sesuatu yang kosong dan tak berbentuk. Kegelapan ditutupi oleh kegelapan itu sendiri. Di alam semesta dahulu tidak ada sesuatu yang ada namun juga tidak ada sesuatu yang tidak ada. Tidak ada bumi, matahari, bulan, planet-planet, bintang-bintang, maupun segala benda kosmik di alam semesta, namun hanya terdapat Brahman, sesuatu yang bernapas namun tanpa napas menurut kekuatannya sendiri, ia tidak terikat oleh waktu, tidak berawal namun juga tidak berakhir, tidak memiliki umur, di luar kehidupan dan kematian, yang tiada lain adalah Tuhan. Dari kekosongan yang tak beraturan itu Brahman menciptakan sesuatu yang seperti lautan luas, apakah itu merupakan air, namun dalamnya tak terhingga. Lautan tersebut merupakan kekacauan yang tak berbentuk. Dari sana munculah Hiranyagharba yang berarti "janin emas", yang mengeluarkan Brahma, yang bergelar sebagai Dewa pencipta. Dari segala hal yang tak beraturan tersebut Brahma mengaturnya kembali menjadi suatu alam semesta yang rapi dan teratur. Tidak ada yang sungguh-sungguh mengetahui kejadian apa yang sebenarnya terjadi, bahkan para Dewa sekalipun.
Dalam kitab Purana disebutkan, alam semesta diciptakan, dimusnahkan, dan dibuat ulang menurut suatu siklus yang berputar abadi. Siklus tersebut disebut Kalpa atau masa seribu Yuga. Satu Kalpa sama dengan 4.320.000.000 tahun bagi manusia sedangkan bagi Brahma satu Kalpa sama dengan satu hari. Dalam kosmologi Hindu, alam semesta berlangsung selama satu Kalpa dan setelah itu dihancurkan oleh unsur api atau air. Pada saat itu, Brahma istirahat selama satu malam, yang lamanya sepanjang satu hari baginya. Proses itu disebut Pralaya (Katalismik) dan berulang-ulang selama seratus tahun bagi Brahma (311 Triliun tahun bagi manusia) yang merupakan umur Brahma.
Menurut pandangan umat Hindu, alam semesta sedang berada pada tahun ke-51 bagi Brahma atau 155 Triliun tahun telah berlangsung semenjak Brahma lahir. Setelah Brahmā meninggal, siklus yang baru dimulai lagi dan segala ciptaan yang sudah dimusnahkan diciptakan kembali. Proses ini merupakan siklus abadi yang terus berulang-ulang dan tak akan pernah berhenti.
Relief di kuil Angkor Wat yang menggambarkan Apsari, makhluk surgawi dalam mitologi Hindu.
Deskripsi modern mengenai "Kerajaan Yama" atau neraka. Karya Dominique Amendola.

[sunting] Dunia

Mitologi Hindu mengenal adanya empat belas dunia (bukan planet) selain bumi, yang mana tujuh dunia berada di atas, tujuh dunia lagi berada di bawah. Dunia-dunia tersebut merupakan wilayah khusus yang menjadi tempat persinggahan sementara bagi jiwa yang sudah meninggalkan raganya. Setelah mencapai dunia yang sesuai dengan karma (perbuatan) semasa hidup, jiwa dilahirkan kembali (reinkarnasi). Di antara empat belas dunia tersebut, tujuan yang tertinggi merupakan moksa, yakni filsafat Hindu yang mengatakan bahwa jiwa berada dalam keadaan bahagia, lepas dari siklus reinkarnasi, tidak terikat pada sesuatu dan tidak dipenuhi oleh berbagai nafsu, atau menyatu dengan Tuhan.

[sunting] Dunia atas

Dalam mitologi Hindu, "Swarga" adalah dunia ketiga di antara tujuh dunia yang lebih tinggi (dunia atas). Dalam penggunaan sehari-hari, kata "Swarga" sering disamakan dengan "Sorga", dunia yang tertinggi dalam gambaran umum, tempat orang-orang hidup bahagia setelah meninggalkan dunia yang fana. Menurut agama Hindu, Swarga merupakan persinggahan sementara bagi orang-orang yang berjiwa baik sebelum bereinkarnasi.
Menurut mitologi Hindu, dunia atas merupakan dunia suci, dunia para dewa, atau kahyangan. Sesuatu yang bersifat jahat, kasar, dan nafsu duniawi (hubungan seks, arak, uang, dan sebagainya) sangat dilarang karena kebahagiaan di sana tidak diperoleh dengan pemuasan nafsu. Di sana terdapat beragam makhluk supernatural, yaitu: Dewa, Apsari, Gandharwa, Yaksa, Kinnara, dan lain-lain. Di Swarga juga tinggal penari-penari yang cantik, seperti misalnya: Urwasi, Menaka, Ramba, dan Tilottama. Tugas mereka adalah menghibur para penghuni swarga atas perintah dari Dewa Indra. Selain itu mereka juga ditugaskan untuk menguji iman para pertapa yang memohon kesaktian kepada para Dewa.

[sunting] Dunia bawah

Dalam mitologi Hindu, salah satu dunia yang berada di bawah disebut "Naraka" (bahasa Indonesia: Neraka), dan istilah tersebut digunakan dengan sangat terkenal. Dunia bawah dipenuhi oleh para Asura. Naraka dikuasai oleh Dewa Yama yang bergelar sebagai Raja Neraka, Dewa kematian, dan Dewa keadilan. Naraka merupakan tempat dimana jiwa seseorang diadili oleh Dewa Yama dan dihukum menurut perbuatannya semasa hidup dan setelah itu dilahirkan kembali untuk menebus kesalahan di kehidupan sebelumnya agar mendapat kesempatan untuk mencapai moksha (kebahagiaan tertinggi).

[sunting] Makhluk Supranatural

Lukisan Trimurti (tiga dewa utama dalam agama Hindu) dari Andra Pradesh.
Mitologi Hindu tak lepas dari cerita para makhluk supranatural, seperti misalnya: Dewa, Asura, Raksasa, Detya, Gandharwa, Yaksa, dan lain-lain. Makhluk supernatural yang paling terkenal adalah Dewa, Asura, dan Raksasa.

[sunting] Dewa-Dewi

Dalam mitologi Hindu dikenal adanya Dewa-Dewi, yang mana Dewa-Dewi tersebut merupakan personifikasi dari alam atau sebagai perwujudan dari gelar kemahakuasaan Tuhan. Kepercayaan tentang dewa-dewi dalam agama Hindu sudah muncul sejak zaman Weda, yaitu pada masa agama Hindu baru berkembang. Dewa-dewi banyak disebut-sebut dalam Weda sebagai makhluk di bawah derajat Tuhan. Pada zaman Weda, dewa-dewi banyak dipuja sebagai pelindung diri manusia.
Para Dewa dan Dewi tinggal menurut tempatnya masing-masing, seperti misalnya: Dewa Siwa di gunung Kailasha, Dewa Wisnu di Waikuntha, Dewa Brahma di Satyaloka dan sebagainya. Namun, atas sifat-sifat gaib yang dimilikinya, para dewa dan dewi dapat muncul dengan cepat kapan saja dan dimana saja sesuai dengan keinginannya.
Dalam kebudayaan India, penggambaran terhadap para dewa dan Ddewi dituangkan dalam bentuk pahatan, ukiran, dan lukisan sesuai dengan atributnya. Atribut yang dimiliki oleh para Dewa disesuaikan dengan karakternya, misalnya: Dewa Agni berambut api, Dewa Wisnu bertangan empat dan memegang cakram, Dewa Brahma berwajah empat, dan sebagainya.
Lukisan India bercorak Rajasthan, menggambarkan adegan Rama bertarung melawan para Asura (kiri).

[sunting] Asura

Asura adalah bangsa Detya, kadangkala disamakan dengan raksasa atau makhluk yang jahat dalam mitologi Hindu. Mereka merupakan golongan makhluk supranatural dan memiliki sifat negatif, yakni memusuhi para Dewa. Meskipun demikian, beberapa Asura merupakan Dewa, seperti Kubera, golongan bangsa Yaksa, adalah Dewa keuangan dan kekayaan. Para Asura mengatur fenomena sosial di muka bumi seperti Baruna, Dewa air, yang juga mengatur hukum rta. Sedangkan Dewa, mengatur fenomena alam, seperti Indra, Dewa hujan, Dewa petir dan cuaca. Dalam beberapa kitab, para dewa adalah golongan bangsa yang memiliki sifat mulia sedangkan Asura sebaliknya.

[sunting] Raksasa

Dalam mitologi Hindu, Raksasa adalah makhluk jahat atau jiwa yang bersifat jahat. Dalam bahasa Sanskerta, kata "raksasa" berarti kekejaman dan merupakan lawan kata dari "raksha" (sentosa). Mereka adalah bangsa pemakan daging manusia atau kanibal. Menurut mitologi Hindu, beberapa raksasa merupakan reinkarnasi dari orang-orang berdosa pada kehidupannya yang lampau. Meskipun bersifat jahat dan suka bertikai dengan para dewa, namun mereka juga memohon kesaktian dengan menyembah dewa tertentu, misalnya Brahma. Dalam Hindu, tidak selamanya raksasa berwujud mengerikan, mukanya sangar dan bertubuh besar. Beberapa orang lahir dengan tubuh dan rupa manusia namun memiliki jiwa jahat selayaknya raksasa, seperti misalnya: Kamsa, Duryodana, Dursasana, Jarasanda, Sisupala. Tokoh-tokoh tersebut muncul dalam kisah Mahabharata. Raksasa betina disebut Rakshasi, sedangkan raksasa dalam wujud manusia disebut Manushya Raksasa.
Relief di Kuil Preah Khan, negara Kamboja, yang melukiskan adegan para raksasa melawan para wanara (dari wiracarita Ramayana).

[sunting] Para raja dan kesatria

Mitologi Hindu tidak hanya bercerita tentang dewa-dewi dan makhluk supranatural saja, namun juga menceritakan tentang kisah para kesatria, raja-raja, dan pertempuran akbar yang digunakan untuk mengungkap sejarah masa lampau.

[sunting] Kesatria

Dalam ajaran Hindu, Ksatria adalah golongan (kasta) para bangsawan, raja-raja, kesatria dan prajurit. Mitologi Hindu tidak lepas dari kisah-kisah para kesatria. Dalam berbagai legenda Hindu, kesatria jumlahnya sangat banyak, dan yang terkenal hanya beberapa saja. Dalam kitab Purana, kesatria yang paling terkenal adalah Parasurama dan Rama. Mereka adalah awatara Wisnu. Parasurama merupakan seorang brahmana (pemuka agama) yang juga seorang kesatria. Dalam legenda, ia merupakan brahmana bersenjata kapak yang paling ditakuti kasta Ksatria. Dalam kisah Ramayana, Rama merupakan ksatria pemanah yang terkenal. Dia adalah putera Raja Dasarata, seorang keturunan Ksatria dari Dinasti Surya. Selain berperan sebagai ksatria pemanah dan putera mahkota, ia merupakan awatara ketujuh Dewa Wisnu. Pasangannya adalah Dewi Sita, yang menurut kitab Ramayana, ia diculik oleh Rahwana, Raja Alengka. Parasurama pernah menantang Rama untuk membuktikan kesaktiannya dengan membengkokkan busur Wisnu. Rama mampu melakukannya. Kemudian ia mengakui bahwa Rama merupakan awatara Wisnu.

[sunting] Para raja kuno

Para Raja kuno dalam mitologi Hindu banyak sekali jumlahnya. Raja-raja yang disebut-sebut dalam mitologi Hindu merupakan keturunan dari beragam dinasti yang berbeda pada zaman India kuno. Menurut mitologi Hindu, maharaja yang diduga pertama kali ada di muka bumi ini adalah Manu. Ia diyakini sebagai putera Wiwaswan, Dewa matahari. Dalam kitab Purana, beliau merupakan Maharaja yang menyelamatkan umat manusia dari bencana air bah dengan membuat bahtera besar atas amanat Dewa Wisnu. Ia menurunkan ajarannya kepada Ikswaku, salah satu dari sepuluh anaknya. Ajarannya dikenal sebagai Manusmrti.
Dalam Mahabharata juga banyak disebutkan nama Raja-Raja. Raja-Raja utama dalam kisah tersebut digolongkan ke dalam dua Dinasti besar yang merupakan keturunan dari Yayati. Dua dinasti tersebut adalah Dinasti Kuru dan Dinasti Yadu. Para Raja yang termasuk dalam dinasti Kuru misalnya Santanu, Citrānggada, Pandu, Dretarastra, Yudistira, dan lain-lain. Para Raja yang termasuk dalam dinasti Yadu misalnya Basudewa, Kresna, Surasena, Hredika, dan lain-lain. Dalam Mahabharata, para putera mahkota dari Dinasti Kuru berselisih untuk menjadi penerus yang terbaik. Di lain pihak, terdapat seorang Raja dari Dinasti Yadu yang masih sekerabat dengan Dinasti Kuru, Kresna, yang akan menjadi penengah dalam perselisihan tersebut. Namun ketika konflik tak bisa dihindari lagi, dua keluarga dalam satu dinasti terpaksa harus bertarung. Akhirnya keturunan dinasti Kuru yang paling mulialah yang akan menjadi penerus tahta.

[sunting] Awatara

Sepuluh Awatara Wisnu.
Dalam ajaran Hindu, beberapa Dewa-Dewi diyakini berinkarnasi ke dalam suatu bentuk material yang disebut awatara, seperti yang dilakukan Wisnu. Dalam kitab suci Hindu disebutkan, bahwa Wisnu turun ke dunia pada setiap zaman (Yuga) untuk menegakkan kembali ajaran agama, membinasakan orang jahat, dan menyelamatkan orang saleh. Dalam kitab Purana disebutkan adanya dua puluh lima awatara Wisnu, yang mana sepuluh dari dua puluh lima awatara tersebut merupakan awatara utama yang paling terkenal. Awatara tersebut adalah:
Dari sepuluh awatara tersebut, sembilan diyakini sudah turun ke dunia, sedangkan awatara terakhir, Kalki, merupakan awatara terakhir dan diprediksi akan muncul pada akhir zaman Kali. Awatara-awatara tersebut turun secara periodik dan membawa makna menurut zamannya, misalnya: masa para Raja meraih kejayaan dengan pemerintahan Rama Awatara pada masa Treta Yuga, dan keadilan sosial dan Dharma dilindungi oleh Sri Kresna pada masa Dwapara Yuga. Makna dari turunnya para Awatara selama masa Satya Yuga menuju Kali Yuga juga menunjukkan evolusi makhluk hidup dan perkembangan peradaban manusia. Kisah-kisah mengenai para awatara dan filsafatnya dimuat dalam kitab Purana.

[sunting] Kisah legendaris

Kisah-kisah legendaris dalam mitologi Hindu dimuat dalam kitab Purana dan Itihasa (Ramayana dan Mahabharata). Kitab Purana memuat tentang kejadian-kejadian yang berhubungan dengan para Dewa, Detya, dan makhluk supranatural lain. Kisah-kisah tersebut berkembang menjadi mitologi yang menjelaskan tentang asal mula sesuatu, kejadian zaman dahulu, dan penjelmaan-penjelmaan Tuhan (Awatara). Kitab Itihasa memuat kisah-kisah ksatria dan para Raja zaman dulu, pertempuran, dan diyakini sebagai sejarah.

[sunting] Air bah

Kisah mengenai air bah yang terkenal, terdapat dalam berbagai mitologi dari bermacam-macam kebudayaan dunia, seperti Yunani, Yahudi, dan lain-lain. Kisah tersebut juga terdapat dalam mitologi Hindu. Dalam mitologi Hindu, bencana air bah pertama kali terjadi dalam sejarah manusia pada masa Satya Yuga. Pada masa tersebut bertahtalah Maharaja Manu, seorang Raja yang bijaksana dan suci. Manu mendapat pesan dari Dewa Wisnu dalam wujud Matsya (ikan besar), agar segera membuat bahtera karena bencana air bah akan datang. Manu pun mengikuti amanat tersebut. Bahtera tersebut diisi beragam jenis binatang yang jumlahnya masing-masing sepasang (betina-jantan), dan tak lupa beliau turut menyelamatkan tumbuh-tumbuhan ke dalam bahtera.

[sunting] Pertempuran

Lukisan bergaya Thailand yang menggambarkan pertempuran antara pasukan Rama dan Rahwana.
Kisah pertempuran dalam mitologi Hindu tidak jarang muncul dalam kitab-kitab Purana dan Itihasa. Dalam kitab-kitab tersebut, terdapat tiga macam pertempuran:
  1. pertempuran antar individu
  2. pertempuran antara individu dengan kelompok
  3. pertempuran antara kelompok dengan kelompok.
Dalam filsafat Hindu, pertempuran adalah jalan terakhir yang ditempuh jika usul perdamaian tidak ditanggapi atau jika kejahatan sulit untuk berkompromi. Peperangan dalam mitologi Hindu melibatkan senjata-senjata sakti, pusaka, makhluk supranatural, dan kekuatan gaib.
Dalam kitab Itihasa, terdapat dua kisah kepahlawanan yang sangat terkenal, yaitu Ramayana dan Mahabharata. Dalam kedua kisah tersebut, ditampilkan pertempuran antara dua kelompok besar—yang satu bertindak dalam kebajikan, yang satu lagi bersifat jahat—yang bertarung untuk mencapai tujuan masing-masing. Pertempuran tersebut selalu memiliki akhir yang sama, yakni kemenangan selalu berada di pihak yang benar. Kisah-kisah peperangan dengan tema seperti itu dan dengan akhir kisah yang sama merupakan filsafat terkenal yang mengatakan bahwa kemenangan dan kejayaan yang direbut melawan orang baik tak akan bisa dicapai dalam orang yang bersifat jahat.

[sunting] Senjata

Dalam mitologi Hindu terdapat banyak sekali senjata, dan biasanya digunakan oleh para ksatria, Raja, dan Dewa. Dalam kisah-kisah pertempuran juga disebutkan adanya bermacam senjata. Senjata tersebut digunakan untuk bertempur, melindungi diri, membasmi kejahatan, membela kebenaran, atau hanya sebagai atribut Dewa. Senjata yang muncul dalam mitologi Hindu misalnya: Gada, hakram, Trisula, Agneyastra, Brahmastra, Garudastra, Kaumodaki, Narayanastra, Pasupati, Siwa Danus, Sudarsana, Waisnawastra, Bajra, Warunastra, dan Wayawastra. Para Dewa tertentu juga memiliki senjata-senjata tertentu.